IBNU SINA; Biografi, Karya & Pemikiran
IBNU SINA
SEJARAH, KARYA-KARYA
DAN PEMIKRANNYA
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas Pengantar
Filsafat Islam
Fakultas Syari’ah Institut Agama
Islam Nurul Jadid
Dosen Pembimbing:
Drs. Suhermanto Jakfar
Mata Kuliah;
Pengantar Filsafat Islam
Oleh :
Fahri Farghiz
Ustman
Cony Costantiny
INSTITUT AGAMA ISLAM
NURUL JADID (IAINJ)
FAKULTAS SYARI’AH
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYAH (AS)
PAITON PROBOLINGGO
JUNI 2008
![]() |
BAB I
IBNU SINA
A.
Riwayat
Hidup
Ibnu Sina dilahirkan pada masa kekacauan
dimana Khilafah Abbasiyah menglami kemunduran dan negeri-negeri yang mula-mula
berada dibawah kekuasaan Khilafah tersebut mulai melepaskan diri satu-persatu
untuk berdiri sendiri. Kota Baghdad sendiri sebagai pusat pemerintah Khilafah
Abbasiyah dikuasai oleh golongan Bani Muwai pada tahun 334 H dan kekuasaan
mereka berlangsung terus sampai tahun 447 H.[1]
Ibnu Sina bernama lengkap Abu Ali
Al-Husain Abdullah Bin Sina atau dalam tulisan arabnya (أبو علي الحسين بن عبد الله بن سينا).
Ibnu Sina lahir pada tahun 980 M/370 H. di Afsyana sebuah desa kecil dekat
Bukharah, sekarang wilayah Uzbekistan (kemudian Persia).[2]
Namun mengenai tahun kelahirnnya ini terjadi perbedaan dikalangan pakar. Ada
yang menyatakan bahwa Ibnu Sina lahir pada:
a.
Tahun 370
menurut Qifthi, Ibnu Khallikan dan Baihaqi seperti yang tecantum di atas
b.
Tahun 375
menurut keterangan Ibnu Abu Ushaybi’ah
c.
Tahun 373
menurut satu keterangan
d.
Tahun 363
menurut keterangan lainnya[3]
Ayahnya, Abdullah adalah seorang
gubernur Samanite yang kemudian ditugaskan di Bukharah. Ia adalah seorang
sarjana terhormat Isma’iliyah, berasal Balkh Khorasan. Sedangkan ibunya adalah
orang asli dimana Ibnu Sina dilahirkan. Yakni di Afsyanah.[4]
Ibnu Sina yang lebih dikenal sebagai
Aviciena oleh masyarakat barat adalah seorang tokoh terbesar sepanjang zaman,
seorang jenius yang mahir dalam berbagai cabang ilmu. Dialah pembuat
ensiklopedi terkemuka dan pakar dalam bidang kedokteran, filsafat, logika,
matematika, etika, astronomi, musik, dan puisi.
Ibnu Sina dididik di bawah tanggung
jawab seorang guru, dan kepandaiannya segera membuatnya menjadi kekaguman
diantara para tetangganya; beliau menampilkan suatu pengecualian sikap
intelektual dan seorang anak yang luar biasa kepandaiannya (Child prodigy)
yang telah menghafal Al-Quran pada usia 5 tahun[5].
Kecerdasaannya yang sangat tinggi membuatnya menonjol sehingga salah seorang
gurunya menasehati ayahnya agar Ibnu Sina tidak terjun kedalam pekerjaan apapun
selain belajar dan menimba ilmu.
Pada usia 16 tahun Ibnu Sina telah
belajar beliau telah mampu menjadi seorang dokter yang ahli dengan mnggunakan
cara eksperimen. Selanjutnya selama satu setengah tahun memperdalam mantiq
dengan seluk beluknya.
Suatu cerita mengatkan bahwa pada masa
itu Ibnu Sina telah hafal buku metafisika Aristoteles di luar kepala tetapi
beliau belum memahaminya. Tatkalah beliau menemukan buku Al-Farabi yang
mengomentari tulisan Aristoteles tersebut barulah beliau dapat memahami isi
buku tersebut dengan baik. Sehingga beliau sendiri kedudukan Al-Farabi sebagai
guru kedua (Al-Mu’allimuts Tsani).[6]
Setelah ayahnya wafat, beliau meninggalkan
Bukharah karena gangguan politik dan pergi kekota Gorgan, yang terkenal dengan
kebudayaannya yang tinggi. Dan beliau wafat pada tahun 428 H pada usia 58
tahun, beliau pergi setelah menyubangkan banyak hal kepada khazanah keilmuan
umat manusia dan namanya akan selalu dikenang sepanjang sejarah. Ibnu Sina
adalah contoh dari peradaban besar Iran di zamannya.
B.
Guru-Guru
Tentang guru Ibnu Sina, tidak banyak
yang diketahui. Diantara guru-gurunya Abu Abdullah Al-Natili yang
mengajarkannnya tentang filsafat, mantiq, matematika, geometri dan kedokteran.[7]
Juga Isma’il sang Zahid yang merupakan salah satu gurunya pula.
Tetapi Ia menyebut seorang penjual
makanan yang kelihatannya ahli dalam bidang aritmatika India dan juga seorang
penganjur Isma’iliyah yang pernah mengunjungi ayahnya yang telah menggolkan
tujuan-tujuan Isma’iliyah.[8]
C.
Karya
dan Pemikiran
a.
Karya-Karya
Ibnu
Sina menelorkan banyak karya. Dan diantara karya-karyanya adalah:
1.
Al-Qonun fi
Al-Thib diterjemahkan menjadi Canon Of
Medicne oleh orang barat yang menjadi rujukan utama ilmu pengobatan
dalam dunia kedokteran sampai abad 19. Dan sudah dicetak berulangkali serta
telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa.
2.
As-Syifa’ yang
terdiri dari 15 jilid dengan devinisi konvensional metafisika sebagai studi
tentang entitas-entitas yang bersifat in-materiil[9]
3.
Al-Isyarat dan
beberapa risalah yang memperlihatkan “kecanggungan mistis” dalam dirinya[10]
4.
Al-Najat terdiri
dari 10 jilid yang dalam salah satu babnya Ibnu Sina mengkritik atas faham
mutakallimin tentang butuhnya mahuk pada yang lain[11]
5.
Al-Hikmah
terdiri dari 10 jilid
6.
Remedies for The
Heart yang mengandungi sajak-sajak pengobatan. Dalam buku ini, ia telah
menceritakan dan menguraikan 760 jenis penyakit bersama cara untuk mengobatinya[12]
Selain karya-karya di
atas, masih banyak lagi karyanya yang lain yang juga membahas tentang
kedokteran dan filsafat.
b.
Pemikiran
Disini kami akan
menguraikan sekilas tentang beberapa pemikran Ibnu Sina dalam dunia filsafat.
Diantara pemikiran beliau adalah:
1.
Metafisika
Pemikiran
metafisika Ibnu Sina bertitik tolak pada pandangan filsafatnya yang terbagi
tiga jenis. Yaitu :
a.
Penting dalam
dirinya sendiri, tidak perlu kepada sebab lain untuk kejadiaannya, selain
dirinya sediri yaitu Tuhan.
b.
Berkehendak
kepada yang lain, yaitu mahluk yang butuh kepada yang menjadikannya.
c.
Mahluk mungkin,
yaitu bisa ada bisa pula tidak ada, dan ia sendri tidak butuh kepada
kejadiannya maksudnya benda-benda yang tidak berakal seperti air, batu, api dan
lain-lain.
2.
Hukum Sebab
Musabbab
Tuhan adalah sebab yang efesien dari
alam, tidak perlu didahului oleh waktu. Dengan kata lain Ibnu Sina memandang
antara sebab dan akibat, walaupun bagaimana sebab itu, datang juga dari sebab.
Tuhan sebagai sebab, bertindak dalam alam yang bergerak terus menerus dalam
wujudnya, yang adalah sebagai sebab diriny sendiri atau dibutuhkan oleh yang
lain.
3.
Tuhan Maha Mengatur
dan Maha Tahu
Devinisi tentang Tuhan yang Maha Tahu
diterangkan Ibnu Sina dalam kitabnya Al-Isyarat sebagai berikut: “Maha Tahu
Adalah perwakilan dalam alam semesta, dalam pengetahuan abadi dalam suatu waktu
tertentu”. Undang pelimpahan Tuhan dalam bentuk hirarki dan kekhususan adalah
dengan pelimpahan rasionil. Keterangan yang berupa undang alam seperti tersebut
di atas menyebabkan orang dapat melihat bagaimana Ibnu Sina menguraikan tentang
sifat maha Tuhan dan mengenai baik dan buruk. Tampaknya dala bentuk yang
demikian itu, orang akan merasa psimis, dan memberikan uraiannya bahwa antara
baik dan buruk, baiklah yang akan menang. Oleh karena itu ia menyempurnakan
wujudnya.
4.
Akal
Ibnu Sina merumuskan bahwa akal merupakan
suatu kekuatan yang terdapat dalam jiwa. Menurut Ibnu Sina ada dua macam akal,
yaitu: akal manusia dan akal aktif. Semua pemikiran yang muncul dari manusia
sendiri untuk mencari kebenaran disebut akal manusia, yaitu semua pemikiran
manusia yang mendatang kedalam akal manusia dari limpahan ilham ketuhanan.[13]
5.
Emanasi
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina juga
menganut teori faidh (Emanasi). Bagi Ibnu Sina, Tuhan sebagai akal murni
memancarkan akal pertama. Ta’aqqul akal pertama memancarkan akal kedua, falakul
aqsha (langit terjauh) dan jiwa falaq tersebut selanjutnya ta’aqqul akal
kedua memancarkan akal pertama, falakuts tsawabit dan jiwanya. Demikian
ta’aqqul dari akal-akal itu secara berkesinambungan hingga sampai pada akal
yang kesepuluh dan bumi. Dari akal kesepuluh yang disebut akal fa’al
memancarlah segala yang ada di bawah bulan.
6.
Jiwa
Di
dalam masalah kejiwaan, Ibnu Sina termasuk penganut paham dualisme (tsanawiyah).
Bagi Ibnu Sina subtansi jiwa itu berlainan sama sekali dari materi tubuh
meskipun dia berasal dari pokok yang sama. Yakni akal fa’al. Tetapi ia
mempunyai perbedaan-perbedaan yang prinsipil.
7.
Teori Kenabian
Sebagaimana yang tertulis di atas, bahwa
akal itu bertingkat-tingkat. Tingkat pertama ialah akal potensial.
Kadang-kadang seorang manusia diberi kadar akal potensial yang besar sehingga
dengan itu Ia dapat secara langsung berhubungan dengan akal fa’al tanpa melalui
latihan-latihan
Akal yag mempunyai kemampuan demikian oleh
Ibnu Sina disebut dengan akal kudus (roh suci) yang merupakan taraf tertinggi yang dapat
dicapai oleh seseorang. Bila taraf ini telah bisa dicapi oelh seseorang,
terbukalah baginya ilmu rabbani.[14]
Dalam filsafat,
kehidupan Ibnu Sina mengalami dua periode penting. Pertama, adalah
periode ketika Ibnu Sina mengikuti paham filsafat paripatetik. Pada
perode ini, Ibnu Sina dikenal sebagai penerjemah pemikiran Aristoteles. Kedua,
adalah ketika Ibnu Sina menarik diri faham paripatetik dan seperti
yang dikatakannya sendiri cenderung kepada pemikiran iluminasi.
Berkat telaah dan studi
filsafat yang dilakukan para filosof sebelumnya semisal Al-Kindi, Al-Farabi,
Ibnu Sina berhasil menyusun sistem filsafat Islam yang terkoordinasi dengan
rapi. Pekerjaan besar yang dilakukan Ibnu Sina adalah menjawab berbagai
persoalan filsafat yang tak terjawab sebelumnya.[15]
Ibnu Sina mengembangkan kosep logikanya kurang lebih semodel
dengan komentar al-Farabi tentang Organon-nya Aristoteles. Filsafat Logikanya
bisa ditemukan dalam kitabnya yang berjudul al-Najat dan dalam beberapa bagian
penting karya yang lain yang berjudul al-Isharat. Dalam sebuah monograf ringkas
tapi sangat penting yang berisi tentang ‘Klasifikasi Ilmu Pengetahuan”, Ibn
Sina membagi pengetahuan logika ke dalam sembilan bagian yang berbeda, yang
berkaitan dengan delapan buku Aristoteles yang didahului oleh Isagoge-nya
Prophyry, salah satu buku yang sangat terkenal di Timur pada abad
pertengahan.
Bagian pertama, berhubungan dengan Isagoge, adalah filsafat
umum tentang bahasa yang berkaitan dengan pembicaraan dan elemen-elemen
abstraknya. Kedua, berkaitan dengan ide-ide sederhana dan abstrak, yang dapat
diterapkan pada semua hal, dan disebut oleh Aristoteles dengan kategori.
Ketiga, berkaitan dengan kombinasi dari ide-ide sederhana tersebut untuk
menyusun proposisi yang dinamakan Aristoteles dengan hermeneutika dan oleh
filosof Muslim dengan al-ibarah atau al-tafsir. Keempat, mengkombnsikan
proposisi dalam bentuk-bentuk silogisme yang berbeda dan merupakan
bahasan pokok First Analytics Aristoteles, yaitu analogi (al-qiyas). Kelima,
mendiskusikan berbagai hal yang harus dipenuhi oleh premis-premis yang darinya
rangkaian reasoning dijalankan dan ini disebut dengan Second Analytics, yaitu
pembuktian (al-burhan). Keenam, mempertimbangkan sifat dan batas-batasan
penalaran yang mungkin, yang berkaitan dengan Topic-nya Aristoteles, yaitu
perdebatan (al-jadl). Ketujuh, membicarakan kesalahan penalaran logis,
intensional atau yang lain, dan ini disebut Sophisticii atau
kesalahan-kesalahan (al-maghalit). Kedelapan, menjelaskan seni mempersuasi
secara oratorikal dan ini disebut Rhetoric atau pidato (al-khatabah).
Kesembilan, menjelaskan seni mengaduk jiwa dan imajinsi pendengar melalui
kata-kata. Ia adalah puisi (al-shi’r) atau Poetics-nya Aristoteles yang
dianggap filosof Muslim menjadi bagian dari Organon logisnya.
Logika digunakan Ibn Sina dalam pengertian yang luas. Logika
silogistik dianggapnya hanya bagian darinya. Sekalipun Ibn Sina memberikan
logika posisi yang sangat penting di antara ilmu-ilmu yang lain, dia pada saat
yang sama juga mengakui batas-batasnya. Fungsinya, dia jelaskan sangat jelas,
bisa juga digunakan untuk hal yang negatif. Tujuan utamanya adalah menyediakan
bagi kita beberapa aturan yang akan mengarahkan kita agar tidak jatuh ke dalam
kesalahan penalaran. Jadi, logika tidak menemukan kebenaran baru, tapi membantu
kita untuk menggunakan kebenaran yang telah kita miliki tersebut dengan baik
dan mencegah kita dari dari penggunaan yang salah atas kebenaran tersebut.
Penalaran, menurut Ibn Sina, berawal dari terma-terma khusus
yang diterima dari luar. Ini merupakan data awal pengalaman atau prinsip-prnsip
pertama pemahaman. Rangkaian deduksi dihasilkan dari pengetahuan, diturunkan
dari pengetahuan yang mendahului, dan ini bukan tidak terbatas. Ia harus
memiliki starting point yang menjadi pondasi dari keseluruhan struktur logika.
Starting point ini tidak didirikan di dalam logika itu sendiri, tapi di
luarnya.
Ini secara jelas
mengindikasikan bahwa logika seperti itu semata-mata sistem formal, tidak
terkait dengan kebenaran atau kesalahan. Isi kebenaran dari sistem tersebut
tidak datang dari dalam, tapi dari luar, yaitu dari data pengalaman pertama.[16]
BAB
II
Penutup
D.
Analisa
dan Kesimpulan
Pengaruh pemikiran
filsafat Ibnu Sina seperti karya pemikiran dan telaahnya di bidang kedokteran
tidak hanya tertuju pada dunia Islam tetapi juga merambah Eropa. Filsafat
metafisika Ibnu Sina adalah ringkasan dari tema-tema filosofis yang
kebenarannya diakui dua abad setelahnya oleh para pemikir Barat.
Dari beberapa pemaparan
di atas, jelas sekali bahwa Ibnu Sina banyak terpengaruh oleh pemikiran dari
al-Farabi, juga pera filosof Yunani khusunya Aristoteles. Disamping beliau juga
banyak memberikan pengaruh yang kuat pada filosof Islam juga pada para filosof
Yunani sesudahnya.
Suatu contoh Albertos
Magnus, ilmuan asal Jerman dari aliran Dominique yang hidup antara tahun
1200-1280 Masehi adalah orang Eropa pertama yang menulis penjelasan lengkap
tentang filsafat Aristoteles. Ia dikenal sebagai perintis utama pemikiran
Aristoteles Kristen. Dia lah yang mengawinkan dunia Kristen dengan pemikiran
Aristoteles. Dia mengenal pandangan dan pemikiran filosof besar Yunani itu dari
buku-buku Ibnu Sina.
Yang jelas, Ibnu Sina
adalah seorang sosok yang telah menymbangkan banyak khazanah keilmuan pada para
tunas-tunas muda di masa-masa setelah juga untuk masa yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Yunasril. Perkembangan Pemikiran
Falsafi Dalam Islam, Bumi Aksara, Jakarta,
1991
Drs. Sudarsono, SH. Filsafat Islam, Rineka
Cipta, Bandung. 1989
Fakhri , Majid. Sejarah Filsafat
Islam, Mizan, Bandung. 2002
Hanafi Ahmad. Pengantar Filsafat
Islam, LKiS, Jogjakarta. 1998
www.iptek.net.id
[1]
Ahmad Hanafi, MA; Pegantar Filsafat Islam ( Jogjakarta: LKiS, 1998) hal.
115
[2]
www.iptek.net.id
[3]
Sudarsono, SH. Filsafat Islam ( Bandung: Rineka Cipta, 1989) hal. 41
[4] Yunasril Ali; Perkembangan
Pemikiran Falsafi Dalam Islam ( Jakarta: Bumi Aksara, 1991) hal. 58
[5]
Namun di sebagian referensi dikatakan bahwa Ibnu Sina baru hafal
Al-Qur’an pada umur 10 tahun
[6]
Ibid, hal. 59
[7]
Ibid.
[8]
Ibid, hal. 40
[9]
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam ( Bandung: Mizan, 2002) Hal. 56
[10]
Ibid. hal: 56
[11]
Idem. hal: 46
[12]
www.iptek.net.id
[13]
Ahmad Hanafi. Pengantar Filsafat Islam. Hal. 52
[14]
Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi. Hal. 66
[15]
www.iptek.net.id
Komentar