RINGKASAN: AN-NA'IM (Biografi dan Pemikiran)
AN-NA’IM
A. Biografi
Abdullah
Ahmad An-Na’im adalah pemikir Muslim terkemuka dari Sudan. Dikenal luas sebagai
pakar Islam dan Hak Asasi Manusia (HAM), dalam perspektif lintas budaya.
Penelitiannya mencakup isu-isu ketatanegaraan di negeri-negeri Islam dan
Afrika, di samping isu-isu tentang Islam dan Politik. Dia juga menekuni
riset-riset lain yang difokuskan pada advokasi strategi reformasi melalui
tranformasi budaya internal. Saat ini An-Na-im bekerja sebagai professor
Charles Howard Candler di bidang Hukum di Emory Law School, Atlanta, Amerika
Serikat.
Tentang
data-data yang lainnya masih belum kami dapatkan, jadi hanya ini sekelumit
biografi tentang An-Na’im yang bisa kami tulis dalam paper ini.
B. Karya dan
Pemikiran
Disini sedikit kami akan
membahas tentang beberapa karya dan pemikirannya. Diantara karya-karyanya
adalah :
- Towards an Islamic Reformation (1990)
- Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syari’ah (2007)
Sekularisme
dalam Pandangan An-Na’im
Abdullah
Ahmad An-Na'im dibesarkan di Sudan. Setelah selesai studi hukum di universitas
Khartum, dia bertolak ke Eropa untuk kuliah di Skotlandia. Bidangnya sebenarnya
adalah hukum publik. Tapi dia juga seoarang aktivis Hak Asasi Manusia. Ide
negara Islam sebenarnya ide pasca kolonial. Sebenarnya ide negara Islam
itu asing bagi hakikat syariah itu sendiri dan juga asing bagi sejarah
masyarakat Islam. Ide itu sangat baru, sulit dan problematik. "Karena
di zaman pra kolonial sudah terjadi perubahan besar tentang hakikat negara,
hakikat hukum dan hakikat masyarakat ". Menurut An-Na’im, sebenarnya
negara agama itu kontra produktif, yang justu menghambat seseorang untuk
menjadi seorang muslim yang baik. Menurut An-Na'im negara-negara Islam lain
harus belajar dari pengalaman Sudan yang mencoba menegakkan Syariat Islam tapi
menelan korban yang luar biasa banyaknya. Sedangakan Syariah menurut pendapat An-Naim,
tidak bersifat ketuhanan, karena itu adalah interpretasi manusia. Bagi
An-Na'im, syariah dan fiqh itu tidak ada bedanya. Kedua-duanya, interpretasi
manusia, simpulnya. Dan An Naim juga mengkritik orang-orang yang mengagungkan
masa lalu Islam, menurutnya dulu itu belum ada demokrasi, apalagi konsep Hak
Asasi Manusia. Ia tidak memungkiri adanya kemajuan pesat yang terjadi pada masa
itu. Oleh karena itu, ia menganggap bahwa apa pun yang terjadi pada sejarah
masayarakat Islam saat itu tidak akan berarti tanpa adanya pemahaman baru
mengenai masa depan politik Islam. Untuk itu, permasalahanya adalah bagaimana
kita harus menghadapi masa depan dengan belajar dari pengalaman sejarah masa
lalu dan disesuaikan dengan konteks sekarang. Jadi, menurut An Naim masa depan
syariah terletak pada Negara sekuler, bukan pada Negara agama. Menurut
An-Na'im negara sekuler adalah negara yang bersikap netral terhadap agama. Jadi
bukan negara yang memusuhi atau mendukung suatu agama. "Makin netral sikap
negara terhadap agama, makin banyak kemungkinan bagi warga untuk menjadi
agamis. Karena negara tidak memaksakan ajaran
tertentu atau pemahaman tertentu tentang syariah atau sistem
agama lain. Sedangkan Negara Islam menurut An Naim itu tidak ada, ia menganggap
bahwa konsep Negara Islam itu sengat menyesatkan, tidak koheren dan tidak
consistenten terhadap sejarah muslim. Ia menambahkan bahwa ulama yang selama
ini memilik otoritas agama dalam Negara Islam juga sudah menyalahai
aturan. Yang lebih radikal lagi lambaga ulama dan fatwa itu telah melanggar
prinsip Islam. Karena menurutnya otoritas agama itu terletak pada pemeluknya,
bukan terletak ditangan ulama. Ia juga membantah orang-orang yang menganggap
sekulerisme itu tidak Islami. Menurutnya sekulerisme yang Islami itu adalah
Pemisahan antara otoritas keagamaan dengan otoritas Negara merupakan perisai
pengaman yang penting bagi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan peran politik Islam.
Konsep ini lebih baik dari pada ide post colonial mengenai Negara Islam
yang bisa mengakibatkan pemakasaan oleh Negara dalam menerapkan syariah.
Sekularisme
yang didefinisikan sebagai pemisahan kelembagaan antara Islam dan negara dengan
tetap menjaga keterkaitannya dengan poliitk lebih konsisten dengan sejarah
masyarakat Islam daripada dengan ide paska kolonial mengenai negara Islam yang
bisa menerapkan syariah melalui kekuasaan negara yang koersif (memaksa).
Pemisahan antara otoritas keagamaan dan otoritas negara merupakan perisai
pengaman yang penting bagi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan peran politik Islam.
Dengan
membuktikan bahwa sekularisme semacam itu merupakan hal yang Islami, saya
berharap bisa membantu menghilangkan anggapan umat Islama bahwa konsep ini
merupakan pemaksaan ala Barat yang akan menyisihkan agama di ruang privat.
Sebetulnya
tidak ada satu model sekularisme Barat yang tunggal karena setiap masyarakat
Barat menegosiasikan hubungan antar agama dan negara dan antar agama dan
politik sesuai dengan kontek sejarah mereka. Keliru juga memahami bahwa di
negara Eropa dan Amerika yang dianggap sekular, agama telah dipinggirkan ke
ruang privat.
Jelas bahwa
hubungan anatara negara dan agama dalam masyarakat Islam tidak jauh berbeda
dengan (keadaan) di masyarakat Barat. Ada pembedaan yang jelas antara institusi
negara dan agama dalam maysarakat Islam.
Bukti
sejarah memperlihatkan bahwa tidak ada satu model institusi agama dan negara
yang baku dalam masyarakat Islam, yang ada adalah sejumlah model yang saling
bersaing. Bahkan, dalam setiap model terdapat ketidakjelasan mengenai bagaimana
distribusi otoritas, fungsi, dan hubungan antara institusi-institusi tersebut.
C. Analisis
Dari beberapa
yang disampaikan An-Naim yang diantaranya adalah tentang konsep negara agama,
memang menuai beberapa polemik. Bahkan dalam nash (Al-Quran dan Hadits) tidak
ada yang menjelaskan tentang konsep sebuah negara.
Contoh
kecil, pergantian kepemimpinan pada masa setelah nabi wafat. Khalifah setelah
Nabi Muhammad adalah Abu Bakar, pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah dengan
cara dibai’at. Setelah itu, abu bakar diganti oleh Sayyidina Umar, dalam
pergantian ini tidak sama dengan masa Abu Bakar, Umar menjadi khalifah dengan
cara ditunjuk[1]. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada konsep
yang ditawarkan oleh kepemimpinan Islam pada masa lalu.
Nah, saat
ini, hal itu berlaku di Indonesia. Indonesia sebagai negara yang plural, baik
agama, suku, bangsa, adat dan lain sebagainya. Sehingga ada wacana tentang
negara agama lebih-lebih negara Islam (yang diusung oleh kaum fundamentalis),
akan mengakibatkan terjadinya disintegrasi bangsa. Kaum yang tidak memeluk
agama yang ada justifikasi dari negara akan di nomor duakan.
Kesimpulan
Beberapa pembahasan di atas,
dapat kami simpulkan adalah tidak adanya
konsep tentang negara Agama, spesifik lagi agama Islam. Dan dalam suatu
birokrasi pemerintahan, kesejahteraan warga / rakyat harus terjamin.
Sebagaimana adagium adanya suatu kepemimpinan harus terjalin langsung dengan
kesejahteraan rakyat. Dan hal ini pula termaktub dalam UUD 1945 yang
dikenal dengan istilah kesejahteraan dan keadilan sosial.
Wallahu a’lam..
DAFTAR BACAAN
http://dear.to/ppi
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/
http://docs.yahoo.com/info/terms/
http://www.ppi-india.org
Wahid, Abdurrahman. Islamku Islam Anda Islam Kita. Wahid Institute.
Jakarta: 2006
Komentar